1.1 SEJARAH PERPAJAKAN
Pajak pada mulanya merupakan
suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma), tetapi sifatnya merupakan suatu
kewajiban yang dapat dipaksakan dan harus dilaksanakan oleh rakyat. Ketika itu
rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa dalam bentuk natura berupa
padi, ternak, atau hasil tanam lainnya. Pemberian yang dilakukan rakyat saat
itu digunakan untuk keperluan raja atau penguasa setempat. Sementara itu,
imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat tidak ada karena sifatnya
hanya untuk kepentingan sepihak dan cenderung memberi tekanan secara
psikologis. Dalam perkembangannya sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak
lagi hanya untuk kepentingan raja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya
pemberian yang diberikan rakyat kepada raja atau penguasa digunakan untuk
kepentingan umum, seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan,
membangun saluran air untuk pengairan sawah, dan membangun sarana sosial
lainnya seperti taman.
Pada masa penjajahan,
penjajah menerapkan berbagai sistem perpajakan kepada rakyat Indonesia yang
bertujuan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dari rakyat. Dalam pelaksanaannya,
pajak pada masa penjajahan dibagi menjadi tiga yaitu pajak tanah, pajak
penghasilan dan pajak perseroan.
Pajak tanah pertama kali
diperkenalkan oleh Letnan Jendral Raffles pada tahun 1811 dengan nama Landrent atau sewa tanah.
Sistem perpajakan ini dilandasi pada dalil bahwa semua tanah adalah milik raja
dan semua kepala desa dianggap sebagai penyewa tanah. Sistem perpajakan ini
merupakan modifikasi dari sistem perpajakan di India pada saat itu. Namun saat
ini istilah pajak tanah lebih dikenal dengan nama “Pajak Bumi dan Bangunan”
yang dimuat dalam UU No 12 Tahun 1985 dan lebih lanjut diatur dalam UU No 12
Tahun 2004.
Adapun pajak penghasilan yang mulai dikenal di Indonesia
sebelum tahun 1920. Pada masa itu sistem pajak ini diberlakukan dengan
membedakan orang pribumi, orang asing Asia dan orang asing Eropa. Tentu saja
perbedaan dalam pajak tersebut menguntungkan orang asing terutama orang Eropa
dan sangat merugikan orang pribumi. Pajak
Penghasilan di Indonesia diatur pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
dengan penjelasan pada Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya
berturut-turut peraturan ini diamandemen oleh UU Nomor 7 Tahun 1991, UU Nomor 10 Tahun 1994, UU Nomor 17 Tahun 2000,
dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
Mulai Juli
2003 sampai Desember
2004, pemerintah
menerapkan sistem pajak yang
ditanggung pemerintah yang diatur dalam s:Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun
2003 dan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003.
Yang terakhir adalah pajak perseroan. Pajak
perseroan adalah pajak yang berkaitan dengan pajak pendapatan atau penghasian.
Pajak ini dilakukan pertama kali di Indonesia pada 1878 yang mencakup pada
pajak atas pendapatan atau laba denagn nama Patentrecht.
Pajak ini hanya berlaku pada penduduk orang Eropa dan orang yang
disamakan dengan orang Eropa. Sistem pajak ini terus berkembang sehingga pajak
ini kini dikenakan bagi badan usaha.
1.2 PENGERTIAN
PAJAK, RETRIBUSI DAN SUMBANGAN
A.
PAJAK
Ada
banyak pengertian pajak yang dikemukakan oleh beberapa pakar, namun
diantara banyak pendapat tersebut ada
beberapa unsur-unsur yang secara umum tersirat dalam pengertian pajak, yaitu :
1. Merupakan
iuran wajib
2. Diatur
dalam undang-undang
3. Sifatnya
dipaksakan
4. Tidak
ada kontra-prestasi (imbalan) secara langsung
5.
Digunakan untuk kepentingan masyarakat dan
pembangunan
Sehingga dengan unsur-unsur
tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan suatu iuran wajib yang diatur
dalam undang-undang sehingga bersifat memaksa tanpa ada kontra-prestasi
(imbalan) secara langsung dan diperuntukkan dalam hal pembangunan serta
kepentingan masyarakat.
B. RETRIBUSI
Pada prinsipnya
pungutan dengan nama retribusi sama dengan pajak, sehingga unsur-unsur yang
terkandung di dalam pengertian retribusi menjadi :
1. Merupakan
iuran wajib
2. Diatur
dalam undang-undang
3. Sifatnya
dapat dipaksakan
4. Kontra-prestasi
(imbalan) dapat dirasakan secara langsung
5. Digunakan
untuk kepentingan masyarakat dan pembangunan
Sehingga dengan unsur-unsur
tersebut dapat disimpulkan bahwa retribusi merupakan suatu iuran wajib yang
diatur dalam undang-undang sehingga bersifat memaksa namun kontra-prestasi (imbalan) dapat dirasakan
secara langsung dan diperuntukkan dalam hal pembangunan serta kepentingan
masyarakat.
C. SUMBANGAN
Untuk sumbangan
sendiri terdapat unsur-unsur yang
berbeda jika dibandingkan dengan pajak dan retribusi , diantaranya :
1. Tidak
berdasarkan undang-undang
2. Bersifat
sukarela
3. Dilakukan
oleh lingkungan setempat atau di luar
4. Jika
sumbangan dilakukan di lingkungan setempat maka imbalannya dapat dirasakan
secara langsung, namun jika tidak maka kontra-prestasinya tidak bisa dirasakan
Sehingga dengan
unsur-unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sumbangan merupakan iuran yang
tidak berdasarkan atas undang-undang sehingga bersifat sukarela dimana pungutan
tersebut dilakukan oleh lingkungan
setempat atau memungkinkan dari luar dan
untuk imbalannya sendiri dapat dirasakan secara langsung ataupun tidak
langsung.
1.3
PERANAN DAN FUNGSI PAJAK DALAM PEMBANGUNAN
Peran pajak dalam hal
pembangunan suatu Negara bukanlah menjadi hal yang asing lagi bagi kita. Fungsi
pajak mengenai pembangunan terutama sebagai Fungsi Anggaran (Budgetair), dimana pajak akan digunakan
sebagai pembangunan sarana maupun prasarana seperti jembatan, sekolah, jalan
raya, dan yang lainnya.
Menurut Dirjen Pajak DR. A.
Fuad Rachmany pada Seminar Perpajakan “Peran Pajak dalam Pembangunan Bangsa dan
Reformasi Sistem Perpajakan” yang diadakan di Universitas Brawijaya
menyampaikan bahwa peran pajak sangat penting dalam pembiayaan pembangunan
Indonesia. Ia juga mengungkapkan bahwa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Perubahan Tahun 2012 penerimaan negara dari sektor perpajakan
ditargetkan sebesar 1.013,24 trilyun atau sebesar 74,82% dari total pendapatan
negara sebesar Rp. 1.358.21 trilyun. Pada tahun 2012 penggunaan dana pajak ini antara lain yang ditransfer ke daerah sebesar Rp. 500 T, untuk
belanja pegawai Rp. 200 T, untuk subsidi energi (BBM) Rp. 210 T, demikian
juga untuk biaya pembangunan sarana umum seperti jalan, jembatan, sekolah,
membayar gaji pegawai, dan masih banyak lagi. Peran yang amat penting tersebut
secara kelembagaan memang terletak pada pundak Direktorat Jenderal Pajak selaku
pengelola pemungutan pajak pusat. Tetapi disatu sisi beliau juga menginginkan
agar permasalahan pajak tidak hanya dibebankan kepada Ditjen Pajak tetapi juga
dukungan dari seluruh masyarakat terutama wajib pajak.
Kemudian
Kepala Kantor Wilayah (Kanwil)
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan Kismantoro Petrus menegaskan, peranan
pajak penting dalam pembangunan negara, dengan memaparkan komposisi penerimaan
pajak tahun 2013 bagi APBN yang mencapai 79,9 persen. “Pajak dibutuhkan untuk
menopang kebutuhan negara kita sekitar 79,9 persen dengan target pencapaian
tahun ini sebesar Rp 1.042 triliun. Bisa dibayangkan betapa negeri ini sangat
membutuhkan pajak dalam pembangunannya,” ungkap Kismantoro. Hal ini beliau sampaikan dalam workshop bertajuk
'Peran Strategis Bendahara Terhadap Perpajakan' di Graha Sucofindo,
Selasa (12/2). Dimana dalam hal ini beliau menyatakan bahwa sosok yang dapat
membantu target penerimaan pajak untuk membantu DJP dalam memenuhi target
penerimaan pajak yakni seorang bendahara.
1.4 KEDUDUKAN
HUKUM PAJAK DALAM TATA HUKUM NASIONAL
Letak
hukum pajak berada dalam tata hukum nasional, tepatnya menjadi bagian dari
hukum adminisrtasi negara yang merupakan segenap peraturan hukum dimana
mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-lembaga
negara serta aparaturnya dalam melaksanakan tugas administrasi negara.
A.
HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM PERDATA
Hubungan yang jelas
tampak adalah bahwa dalam hukum pajak selalu mencari dasar kemungkinan
pemungutan pajak berdasarkan perbuatan hukum perdata. Perbuatan hukum ini
merupakan sasaran atau obyek dikenakannya pemungutan pajak atas transaksi
tersebut. Hubungan lain juga terdapat dalam pengertian hukum pajak dimana banyak dipengaruhi oleh
hukum perdata seperti pengertian wajib pajak yang dalam hukum perdata sering
disebut subjek hukum walaupun pengertian subjek hukum sebenarnya lebih luas
dari wajib pajak. Pengertian wajib pajak dalam hukum pajak tentunya dipengaruhi
oleh hukum perdata pada umumnya.
B. HUBUNGAN
HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM PIDANA
Hubungan tersebut
dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Kitab UU Hukum
Pidana (KUHP) banyak digunakan dalam peraturan UU Pajak. Hubungan lain pula
dapat dilihat dari apabila terjadi tindak pidana pajak, maka proses
penyelidikan dan penuntutan tindak pidana pajak mengacu pada ketentuan KUHP.
1.5
SYARAT- SYARAT PEMBUATAN UNDANG-UNDANG PAJAK
Dalam pembuatan
Undang-undang Pajak ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni:
a.
Syarat Yuridis
Syarat ini mengharuskan bahwa
undang-undang pajak yang normatifharus memenuhi kepastian hukum, seperti yang
dikemukakan Adam Smithdengan Certainty. Disamping itu pula harus memberikan
keadilan.
b. Syarat
Ekonomis
Pengurangan penghasilan wajib pajak
melalui pajak sudah barang tentu mempunyai dampak pada ekonomi individu. Setiap
individu harus memperhitungkan hal tersebut agar tidak terlalu terbebani,
sehingga pola konsumsi wajib pajak harus diubah.
c. Syarat
Financial
Pajak dipungut untuk memasukkan uang ke
dalam kas Negara. Maka oleh sebab itu, jika diadakan pungutan baru perlu
dipertimbangkan, apakah akan cukup masuk ke uang kas Negara atau dengan kata
lain apakah biaya pemungutan itu tidak terlampau besar sehingga uang pajak kas
Negara terlampau kecil
d. Syarat
Sosiologis
Pajak adalah gejala sosial, artinya
pajak hanya terdapat didalam masyarakat. Jika tidak ada masyarakat, tidak ada
pajak, sebab pajak itu dipungut untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena hal
tersebutlah pajak harus dipungut sesuai kebutuhan masyarakat serta
memperhatikan keadaan dan situasi masyarakat pada saat itu.
1.6 THE
FOUR MAXIMS ADAM SMITH
Menurut Adam Smith
dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal “The
Four Maxims“, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.
- Asas Equality (asas keseimbangan dengan
kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara
harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak
boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.
- Asas
Certainty (asas
kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi
yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
- Asas Convinience
of Payment (asas
pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus
dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik),
misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib
pajak menerima hadiah.
- Asas Effeciency (asas efesien atau asas
ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan
sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan
pajak.
Namun sepertinya disaat sekarang asas The Four Maxims ini telah
mengalami beberapa penyimpangan karena menurut Praktisi Hukum Todung Mulya
Lubis mengatakan bahwa selama ini pemerintah dalam hal pajak cenderung hanya
melihat keberhasilannya dalam mengumpulkan penerimaan pajak, sedangkan berakhir
dimana dan sebagai apa uang yang terkumpul menjadi soal lain. “Padahal dalam The 4 Taxation Maxims dari
Adam Smith, selain kuantitas, perlunya prinsip equity dan equality.
Prinsip keseimbangan belum sepenuhnya dilakukan. Dalam hal pidana antara wajib
pajak dengan fiskus misalnya, jarang sekali terdengar pegawai pajak dijatuhi
pidana ketika ada menyimpang,” jelasnya.
Selain itu, lanjutnya, selama ini yang terjadi, fiskus cenderung
gencar mengedukasi masyarakat untuk bayar pajak, tapi kurang gencar mengedukasi
masyarakat tentang haknya sebagai WP dan menjelaskan kewajiban fiskus terhadap
masyarakat terhadap WP. Oleh karena itu, kata Todung, pajak hendaknya tidak
hanya dilihat dari kuantitas penerimaannya, tetapi juga kualitas pemanfaatnnya,
pemungutannnya, pelayanannya, dan SDM fiskusnya.
Referensi :
Ilyas, Wirawan B dan
Richard Burton, 2010, Hukum Pajak,
Jakarta: Salemba Empat
Soemitro, Rochmat dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1 edisi revisi,
Bandung: Reflika Aditama
Ganda Wijaya, Aryanni, 2012, Sejarah Lahirnya Pajak di Indonesia, diakses pada 20 Februari 2013, <http://aryannigandawijaya.student.esaunggul.ac.id/2012/10/09/sejarah-lahirnya-pajak-di-indonesia/>
Direktorat Jendral Pajak , 1994, Pajak Bumi dan Bangunan, diakses pada 21 Februari 2013, <http://www.pajak.go.id/tkb/engine/rule_engine/engine/peraturan/view.php?id=6f4922f45568161a8cdf4ad2299f6d23>
Wikipedia, 2013, Pajak penghasilan, diakses pada 21 Februari 2013,
<http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_penghasilan>
Bimbie, 2012, Menghenal
Fungsi Pajak untuk Pembangunan,
diakses pada 20 Februari 2013, <http://www.bimbie.com/fungsi-pajak.htm>
Petrus, Kismantoro, 2013, Peranan
pajak penting pembangunan negara,
Peran Strategis Bendahara Terhadap Perpajakan, Jakarta, diakses
pada 21 Februari 2013, <http://jaringnews.com/ekonomi/umum/34302/tegaskan-peran-strategis-bendahara-ditjen-pajak-gelar-workshop>
Rachmani, DR. Achmad Fuat , 2012, Perpajakan, Peran Pajak dalam Pembangunan Bangsa dan
Reformasi Sistem Perpajakan, diakses pada 21 Februari 2013, <http://regional.kompasiana.com/2012/12/16/seminar-perpajakan-peran-pajak-dalam-pembangunan-bangsa-dan-reformasi-sistem-perpajakan-511525.html>
0 komentar:
Posting Komentar