Tugas Perpajakan I (DASAR TEORI DAN YURISDIKSI)


2.1 DASAR TEORI PEMUNGUTAN PAJAK
Dalam pemungutan pajak terdapat beberapa dasar teori:
1.        Teori Asuransi
Teori asuransi diartikan dengan suatu kepentingan masyarakat (seseorang) yang harus dilindungi oleh negara. Masyarakat seakan mempertanggungkan keselamatan dan keamanan jiwanya kepada negara.
2.        Teori Kepentingan
Teori kepentingan diartikan sebagai Negara yang melindungi kepentingan harta benda dan jiwa warga negara dengan memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduknya. Segala biaya atau pengeluaran yang akan dikeluarkan oleh negara dibebankan kepada seluruh warga berdasarkan kepentingan dari warga negara yang ada. Warga negara yang memiliki harta yang banyak, membayar pajak lebih besar kepada negara untuk melindungi kepentingan dari warga negara yang bersangkutan.
3.        Teori Gaya Pikul
Dasar teori ini adalah asas keadilan, yaitu setiap orang yang dikenakan pajak harus sama beratnya. Pajak yang harus dibayar adalah menurut gaya pikul seseorang yang ukurannya adalah besarnya penghasilan dan besarnya pengeluaran.
4.        Teori Gaya Beli
Teori ini menunjukan bahwa pembayaran pajak yang dilakukan kepada negara dimaksudkan untuk memelihara masyarakat dalam negara yang bersangkutan. Gaya beli suatu rumah tangga dalam masyarakat adalah sama dengan gaya beli suatu rumah tangga negara.
5.        Teori Bakti
Teori ini menekankan pada paham organische staatsleer yang mengajarkan bahwa karena sifat negara sebagai suatu organisasi (perkumpulan) dari individu-individu, maka timbul hak mutlak negara untuk memungut pajak.

2.2 YURISDIKSI PEMUNGUTAN PAJAK
UU PPh Indonesia menganut 3 asas yang merupakan cara pemungutan pajak, diantaranya :
1.     Tempat tinggal seseorang atau asas domisili
merupakan suatu asas pemungutan pajak berdasarkan tempat tinggal atau domisili seseorang. Lebih mudahnya dapat dijelaskan jika suatu negara hanya dapat memungut pajak terhadap semua orang yang bertempat tinggal atau berdomisili di negara yang bersangkutan atau seluruh penghasilan dimana pun diperoleh, tanpa memperhatikan apakah orang yang  bertempat tinggal tersebut warga negaranya atau warga negara asing.
Negara yang menganut asas domisili akan menentukan dalam UU berapa lama seseorang bertempat tinggal di negara tersebut. Pasal 2 ayat 3 UU PPh No. 7 Tahun 1983 yang diubah dengan UU No. 36 Tahun 2008 (UU PPh) salah satunya yang menyebutkan definisi subyek pajak dalam negeri, yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
2.     Kebangsaan seseorang atau asas kebangsaan
merupakan suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada kebangsaan suatu negara. Dimana suatu negara akan memungut pajak kepada setiap orang yang mempunyai kebangsaan atas negara yang bersangkutan sekalipun orang tersebut tidak bertempat tinggal di negara yang bersangkutan. Negara yang menganut system ini salah satunya adalah Amerika Serikat. Untuk UU PPh tidak menganut asas kebangsaan, dan ini dibuktikan melalui pasal 2 ayat 4 UU PPh yang menyebutkan bahwa orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari disebut sebagai subyek pajak luar negeri. Bahkan dalam Peraturan Dirjen Pajak No.2/PJ/2009 diatur bahwa pekerja Indonesia di luar negeri adalah subjek pajak luar negeri dan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pekerja Indonesia di luar negeri, tidak dikenai PPh di Indonesia.
3.     Sumber dimana penghasilan diperoleh atau asas sumber
Merupakan suatu asas pemungutan pajak yang didasarkan pada sumber atau tempat penghasilan berada. Apabila suatu sumber penghasilan berada di suatu negara, maka negara tersebut berhak memungut pajak kepada setiap orang yang memperoleh penghasilan dari tempat atau sumber penghasilan tersebut berada. Dalam kondisi ini jelas bahwa objek pajak dapat berupa dividen atau royalty.
2.3 STELSEL PEMUNGUTAN PAJAK
1.    Stelsel Nyata
Dalam setelsel nyata pengenaan pajak didasarkan pada penghasilan yang sebenarnya dari waijb pajak. Pemungutan pajak dengan sistem ini dilakukan pada akhir tahun pajak setelah penghasilan sesungguhnya dari wajib pajak diketahui. Kelebihan dari stelsel ini pajak yang dikenakan realistis, sesuai dengan yang seharusnya dibayarkan oleh wajib pajak. Sedangkan kelemahan dari stelsel ini pajak baru dapat dibayarkan pada akhir tahun pajak.
2.    Stelsel Anggapan
Dalam stelsel ini besarrnya pajak yang harus ditetapkan didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang. Penghasilan dalam satu tahun dianggap sama dengan penghasilan pada tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan dari sistem ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Sedangkan kekurangan dari sistem ini terkadang besarnya pajak yang dibayar tidak sesuai dengan besarnya pajak yang seharusnya dibayarkan.
4.     Stelsel Campuran
Dalam stelsel ini, besarnya pajak dihitung sesuai anggapan seperti pada stelsel anggapan, besarnya penghasilan dalam tahun berjalan dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pajak dapat dibayarkan pada awal tahun pajak. Akan tetapi pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan kenyataan yang harus dibayarkan. Apabila ternyata pajak yang dibayarkan kurang, maka wajib pajak harus menambahnya, dan apabila yang dibayarkan berlebih maka wajib pajak berhak untuk mengambil kelebihan tersebut.

2.4 PENGGOLONGAN JENIS PAJAK
1.     Menurut Sifatnya
a.     Pajak Langsung : Pajak yang bebannya haru dipikul sendiri oleh Wajib Pajak ( WP )dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain. Misal : PPh.
b.    Pajak Tidak Langsung : Pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa tertentu saja. Misal : Pajak Pertambahan nilai.
2.     Menurut Sasaran/Objeknya
a.     Pajak Subjektif : Jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi WP (subjeknya)
b.    Pajak Objektif : Jenis pajak yang dikenakan dengan memperhatikan objeknya baik berupa keadaan perbuatan/ peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak.
3.     Menurut Lembaga Pemungutannya
a.     Pajak Pusat : jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang dalam pelaksanaanya dilakukan oleh Departemen Keuangan. Contoh : Dirjen Pajak. Hasil pemungutan pajak pusat dimasukkan sebgai bagian dari APBN
Macam-macam Pajak Pusat :
-       PPh
-       PPN dan PnBM
-       PBB
-       Pajak/BPHTB
-       Bea Material
b.    Pajak Daerah : Pajak yang di pungut oleh pemerintah daerah yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Dipenda. Hasih pemungutan pajak daerah dimasukkan sebagai bagian dari penerimaan APBD.
Macam-macam Pajak Daerah :
v  Pajak Daerah Tk. 1 :
o    Pajak Kendaraan Bermotor
o    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
o    Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
v  Pajak Daerah Tk. 2 :
o    Pajak Hotel dan Restoran
o    Pajak Hiburan
o    Pajak Reklame
o    Pajak Penerangan Jalan
o    Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
o    Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
Selain memungut pajak, pemerintah juga melakukan pemungutan dengan nama retribusi yaitu pemungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Tiga jenis retribusi antara lain :
1.     Retribusi Jasa Umum yang terdiri atas : Retribusi pelayanan kesehatan ; pelayanan kebersihan
2.     Retribusi Jasa Usaha yang terdiri atas : Retribusi pemakaian kekayaan daerah ; retribusi terminal
3.     Retribusi Perizinan Tertentu yang terdiri atas : retribusi izin peruntukan penggunaan tanah, retribusi izin mendirikan bangunan.
2.5 SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK
Ada 3 sistem pemungutan pajak, yaitu Official Assessment System, Self Assessment System dan With holding Tax System. Di Indonesia menerapkan ketiga sistem tersebut. 
1.     Offsicial Assessment System
Adalah sistem pemungutan pajak yang wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak terletak pada fiskus atau aparat pemungut pajak. Sistem ini pada umumnya diterapkan pada pengenaan pajak langsung . Dalam hal ini wajib pajak bersifat pasif karena utang pajak baru timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
Sistem diterapkan dalam hal pelunasan Pajak Bumi Bangunan (PBB), dimana KPP akan mengeluarkan surat ketetapan pajak mengenai besarnya PBB yang terutang setiap tahun. Jad waji pajak tidak perlu menghitung sendiri, tapi cukup membayar PBB berdasarkan Surat Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan olek KPP dimana tempat objek pajak tersebut terdaftar.
2.     Self Assessment System
Adalah sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak terletak pada pihak wajib pajak yang bersangkutan. Dalam sistem ini wajib pajak sifat aktif untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajaknya sendiri, sedangkan fiskus hanya memberi penerangan, pengawasan atau sebagai verifikasi. 
Sistem ini diterapkan dalam penyampaian SPT Tahunan PPh (baik untuk Wajib Pajak Badan mauoun Wajib Pajak Orang Pribadi), dan SPT Masa PPN
3.     With Holding Tax System
Adalah sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarya pajak yang terutang tidak terletak pada fiskus maupun wajib pajak sendiri melainkan pada pihak ketiga yang telah ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
Diterapkan dalam mekanisme pemotongan atau pemungutan sesuai PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 26, PPh Final Pasal 4 Ayat 2, PPh Pasal 15, dan PPN. Sebagai bukti atas pelunasan pajak ini biasanya berupa bukti potong atau bukti pungut. Dalam kasus tertentu ada juga yang berupa Surat Setoran Pajak (SSP). Bukti-bukti pemotongan ini nanti dilampiri dalam SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN dari Wajib Pajak yang bersangkutan



REFERENSI :

Ilyas, Wirawan B dan Richard Burton, 2010, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat

Ayunanda, Citra, 2012, Sistem pemungutan pajak, diakses pada 22 Februari 2013,

Pratama, Oggy. 2012, Dasar Teori Pemungutan Pajak, viewed 22 Februari 2013, <http://oggypratama.blogspot.com/2012/05/dasar-teori-pemungutan-pajak.html>




Tugas Perpajakan I (pendahuluan)


1.1 SEJARAH PERPAJAKAN
Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma), tetapi sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan dan harus dilaksanakan oleh rakyat. Ketika itu rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa dalam bentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanam lainnya. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan raja atau penguasa setempat. Sementara itu, imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat tidak ada karena sifatnya hanya untuk kepentingan sepihak dan cenderung memberi tekanan secara psikologis. Dalam perkembangannya sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja, tetapi sudah mengarah  kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya pemberian yang diberikan rakyat kepada raja atau penguasa digunakan untuk kepentingan umum, seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan, membangun saluran air untuk pengairan sawah, dan membangun sarana sosial lainnya seperti taman.
Pada masa penjajahan, penjajah menerapkan berbagai sistem perpajakan kepada rakyat Indonesia yang bertujuan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dari rakyat. Dalam pelaksanaannya, pajak pada masa penjajahan dibagi menjadi tiga yaitu pajak tanah, pajak penghasilan dan pajak perseroan.
Pajak tanah pertama kali diperkenalkan oleh Letnan Jendral Raffles pada tahun 1811 dengan nama Landrent atau sewa tanah. Sistem perpajakan ini dilandasi pada dalil bahwa semua tanah adalah milik raja dan semua kepala desa dianggap sebagai penyewa tanah. Sistem perpajakan ini merupakan modifikasi dari sistem perpajakan di India pada saat itu. Namun saat ini istilah pajak tanah lebih dikenal dengan nama “Pajak Bumi dan Bangunan” yang dimuat dalam UU No 12 Tahun 1985 dan lebih lanjut diatur dalam UU No 12 Tahun 2004. 
Adapun pajak penghasilan yang mulai dikenal di Indonesia sebelum tahun 1920. Pada masa itu sistem pajak ini diberlakukan dengan membedakan orang pribumi, orang asing Asia dan orang asing Eropa. Tentu saja perbedaan dalam pajak tersebut menguntungkan orang asing terutama orang Eropa dan sangat merugikan orang pribumi. Pajak Penghasilan di Indonesia diatur pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 dengan penjelasan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50. Selanjutnya berturut-turut peraturan ini diamandemen oleh UU Nomor 7 Tahun 1991, UU Nomor 10 Tahun 1994, UU Nomor 17 Tahun 2000, dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Mulai Juli 2003 sampai Desember 2004, pemerintah menerapkan sistem pajak yang ditanggung pemerintah yang diatur dalam s:Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 486/KMK.03/2003.
 Yang terakhir adalah pajak perseroan. Pajak perseroan adalah pajak yang berkaitan dengan pajak pendapatan atau penghasian. Pajak ini dilakukan pertama kali di Indonesia pada 1878 yang mencakup pada pajak atas pendapatan atau laba denagn nama Patentrecht. Pajak ini hanya berlaku pada penduduk orang Eropa dan orang yang disamakan dengan orang Eropa. Sistem pajak ini terus berkembang sehingga pajak ini kini dikenakan bagi badan usaha.


1.2 PENGERTIAN PAJAK, RETRIBUSI DAN SUMBANGAN

A.    PAJAK
Ada banyak pengertian pajak yang dikemukakan oleh beberapa pakar, namun diantara  banyak pendapat tersebut ada beberapa unsur-unsur yang secara umum tersirat dalam pengertian pajak, yaitu :
1.     Merupakan iuran wajib
2.     Diatur dalam undang-undang
3.     Sifatnya dipaksakan
4.     Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) secara langsung
5.     Digunakan untuk kepentingan masyarakat dan pembangunan
Sehingga dengan unsur-unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan suatu iuran wajib yang diatur dalam undang-undang sehingga bersifat memaksa tanpa ada kontra-prestasi (imbalan) secara langsung dan diperuntukkan dalam hal pembangunan serta kepentingan masyarakat.
B.    RETRIBUSI
Pada prinsipnya pungutan dengan nama retribusi sama dengan pajak, sehingga unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian retribusi menjadi :
1.     Merupakan iuran wajib
2.     Diatur dalam undang-undang
3.     Sifatnya dapat dipaksakan
4.     Kontra-prestasi (imbalan) dapat dirasakan secara langsung
5.     Digunakan untuk kepentingan masyarakat dan pembangunan
Sehingga dengan unsur-unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa retribusi merupakan suatu iuran wajib yang diatur dalam undang-undang sehingga bersifat memaksa namun  kontra-prestasi (imbalan) dapat dirasakan secara langsung dan diperuntukkan dalam hal pembangunan serta kepentingan masyarakat.
C.    SUMBANGAN
Untuk sumbangan sendiri terdapat  unsur-unsur yang berbeda jika dibandingkan dengan pajak dan retribusi , diantaranya :
1.     Tidak berdasarkan undang-undang
2.     Bersifat sukarela
3.     Dilakukan oleh lingkungan setempat atau di luar
4.     Jika sumbangan dilakukan di lingkungan setempat maka imbalannya dapat dirasakan secara langsung, namun jika tidak maka kontra-prestasinya tidak bisa dirasakan
Sehingga dengan unsur-unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa sumbangan merupakan iuran yang tidak berdasarkan atas undang-undang sehingga bersifat sukarela dimana pungutan tersebut dilakukan  oleh lingkungan setempat atau memungkinkan dari  luar dan untuk imbalannya sendiri dapat dirasakan secara langsung ataupun tidak langsung.


1.3 PERANAN DAN FUNGSI PAJAK DALAM PEMBANGUNAN

Peran pajak dalam hal pembangunan suatu Negara bukanlah menjadi hal yang asing lagi bagi kita. Fungsi pajak mengenai pembangunan terutama sebagai Fungsi Anggaran (Budgetair), dimana pajak akan digunakan sebagai pembangunan sarana maupun prasarana seperti jembatan, sekolah, jalan raya, dan yang lainnya.
Menurut Dirjen Pajak DR. A. Fuad Rachmany pada Seminar Perpajakan “Peran Pajak dalam Pembangunan Bangsa dan Reformasi Sistem Perpajakan” yang diadakan di Universitas Brawijaya menyampaikan bahwa peran pajak sangat penting dalam pembiayaan pembangunan Indonesia. Ia juga mengungkapkan bahwa dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun 2012 penerimaan negara dari sektor perpajakan ditargetkan sebesar 1.013,24 trilyun atau sebesar 74,82% dari total pendapatan negara sebesar Rp. 1.358.21 trilyun. Pada tahun 2012 penggunaan dana pajak ini antara lain yang ditransfer ke daerah sebesar Rp. 500 T, untuk belanja pegawai Rp. 200 T, untuk subsidi energi (BBM) Rp. 210 T, demikian juga untuk biaya pembangunan sarana umum seperti jalan, jembatan, sekolah, membayar gaji pegawai, dan masih banyak lagi. Peran yang amat penting tersebut secara kelembagaan memang terletak pada pundak Direktorat Jenderal Pajak selaku pengelola pemungutan pajak pusat. Tetapi disatu sisi beliau juga menginginkan agar permasalahan pajak tidak hanya dibebankan kepada Ditjen Pajak tetapi juga dukungan dari seluruh masyarakat terutama wajib pajak.
            Kemudian Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Selatan Kismantoro Petrus menegaskan, peranan pajak penting dalam pembangunan negara, dengan memaparkan komposisi penerimaan pajak tahun 2013 bagi APBN yang mencapai 79,9 persen. “Pajak dibutuhkan untuk menopang kebutuhan negara kita sekitar 79,9 persen dengan target pencapaian tahun ini sebesar Rp 1.042 triliun. Bisa dibayangkan betapa negeri ini sangat membutuhkan pajak dalam pembangunannya,” ungkap Kismantoro.  Hal ini beliau sampaikan dalam workshop bertajuk 'Peran Strategis Bendahara Terhadap Perpajakan' di Graha Sucofindo, Selasa (12/2). Dimana dalam hal ini beliau menyatakan bahwa sosok yang dapat membantu target penerimaan pajak untuk membantu DJP dalam memenuhi target penerimaan pajak yakni seorang bendahara.

1.4 KEDUDUKAN HUKUM PAJAK DALAM TATA HUKUM NASIONAL

            Letak hukum pajak berada dalam tata hukum nasional, tepatnya menjadi bagian dari hukum adminisrtasi negara yang merupakan segenap peraturan hukum dimana mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-lembaga negara serta aparaturnya dalam melaksanakan tugas administrasi negara.
A.    HUBUNGAN HUKUM  PAJAK DENGAN HUKUM PERDATA
Hubungan yang jelas tampak adalah bahwa dalam hukum pajak selalu mencari dasar kemungkinan pemungutan pajak berdasarkan perbuatan hukum perdata. Perbuatan hukum ini merupakan sasaran atau obyek dikenakannya pemungutan pajak atas transaksi tersebut. Hubungan lain juga terdapat dalam pengertian  hukum pajak dimana banyak dipengaruhi oleh hukum perdata seperti pengertian wajib pajak yang dalam hukum perdata sering disebut subjek hukum walaupun pengertian subjek hukum sebenarnya lebih luas dari wajib pajak. Pengertian wajib pajak dalam hukum pajak tentunya dipengaruhi oleh hukum perdata pada umumnya.
B.    HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM PIDANA
Hubungan tersebut dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan pidana yang diatur dalam Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) banyak digunakan dalam peraturan UU Pajak. Hubungan lain pula dapat dilihat dari apabila terjadi tindak pidana pajak, maka proses penyelidikan dan penuntutan tindak pidana pajak mengacu pada ketentuan KUHP.
1.5 SYARAT- SYARAT PEMBUATAN UNDANG-UNDANG PAJAK
Dalam pembuatan Undang-undang Pajak ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni:
a.     Syarat Yuridis
Syarat ini mengharuskan bahwa undang-undang pajak yang normatifharus memenuhi kepastian hukum, seperti yang dikemukakan Adam Smithdengan Certainty. Disamping itu pula harus memberikan keadilan.
b.    Syarat Ekonomis
Pengurangan penghasilan wajib pajak melalui pajak sudah barang tentu mempunyai dampak pada ekonomi individu. Setiap individu harus memperhitungkan hal tersebut agar tidak terlalu terbebani, sehingga pola konsumsi wajib pajak harus diubah.
c.     Syarat Financial
Pajak dipungut untuk memasukkan uang ke dalam kas Negara. Maka oleh sebab itu, jika diadakan pungutan baru perlu dipertimbangkan, apakah akan cukup masuk ke uang kas Negara atau dengan kata lain apakah biaya pemungutan itu tidak terlampau besar sehingga uang pajak kas Negara terlampau kecil
d.    Syarat Sosiologis
Pajak adalah gejala sosial, artinya pajak hanya terdapat didalam masyarakat. Jika tidak ada masyarakat, tidak ada pajak, sebab pajak itu dipungut untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena hal tersebutlah pajak harus dipungut sesuai kebutuhan masyarakat serta memperhatikan keadaan dan situasi masyarakat pada saat itu.

1.6 THE FOUR MAXIMS ADAM SMITH
Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal “The Four Maxims“, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut.
  • Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan): pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak.
  • Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
  • Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
  • Asas Effeciency (asas efesien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
Namun sepertinya disaat sekarang asas The Four Maxims ini telah mengalami beberapa penyimpangan karena menurut Praktisi Hukum Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa selama ini pemerintah dalam hal pajak cenderung hanya melihat keberhasilannya dalam mengumpulkan penerimaan pajak, sedangkan berakhir dimana dan sebagai apa uang yang terkumpul menjadi soal lain. “Padahal dalam The 4 Taxation Maxims dari Adam Smith, selain kuantitas, perlunya prinsip equity dan equality. Prinsip keseimbangan belum sepenuhnya dilakukan. Dalam hal pidana antara wajib pajak dengan fiskus misalnya, jarang sekali terdengar pegawai pajak dijatuhi pidana ketika ada menyimpang,” jelasnya.
Selain itu, lanjutnya, selama ini yang terjadi, fiskus cenderung gencar mengedukasi masyarakat untuk bayar pajak, tapi kurang gencar mengedukasi masyarakat tentang haknya sebagai WP dan menjelaskan kewajiban fiskus terhadap masyarakat terhadap WP. Oleh karena itu, kata Todung, pajak hendaknya tidak hanya dilihat dari kuantitas penerimaannya, tetapi juga kualitas pemanfaatnnya, pemungutannnya, pelayanannya, dan SDM fiskusnya.


 Referensi  :

Ilyas, Wirawan B dan Richard Burton, 2010, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat

Soemitro, Rochmat dan  Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1 edisi revisi, Bandung: Reflika Aditama

Ganda Wijaya, Aryanni, 2012, Sejarah Lahirnya Pajak di Indonesia, diakses pada 20 Februari 2013, <http://aryannigandawijaya.student.esaunggul.ac.id/2012/10/09/sejarah-lahirnya-pajak-di-indonesia/>

Direktorat Jendral Pajak , 1994, Pajak Bumi dan Bangunan, diakses pada  21 Februari 2013, <http://www.pajak.go.id/tkb/engine/rule_engine/engine/peraturan/view.php?id=6f4922f45568161a8cdf4ad2299f6d23>

Wikipedia, 2013, Pajak penghasilan, diakses pada 21 Februari 2013, <http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak_penghasilan>


Bimbie, 2012, Menghenal Fungsi  Pajak untuk Pembangunan, diakses pada 20 Februari 2013, <http://www.bimbie.com/fungsi-pajak.htm>
Petrus, Kismantoro, 2013, Peranan pajak penting pembangunan negara, Peran Strategis Bendahara Terhadap Perpajakan, Jakarta, diakses pada 21 Februari 2013, <http://jaringnews.com/ekonomi/umum/34302/tegaskan-peran-strategis-bendahara-ditjen-pajak-gelar-workshop>
Rachmani, DR. Achmad Fuat , 2012, Perpajakan, Peran Pajak dalam Pembangunan Bangsa dan Reformasi Sistem Perpajakan, diakses pada 21 Februari 2013, <http://regional.kompasiana.com/2012/12/16/seminar-perpajakan-peran-pajak-dalam-pembangunan-bangsa-dan-reformasi-sistem-perpajakan-511525.html>

Judarwanto, dr Widodo SpA, 2012, Aturan dan Hukum Perpajakan di Indonesia, viewed 21 Februari 2013, < http://demokrasiindonesia.wordpress.com/2012/07/20/aturan-dan-hukum-perpajakan-di-indonesia/>

Brilliantono, Endot , 2011, Dirjen pajak akan perkuat sistem internal, viewed 20 Februari 2013, <http://www.bisnis-jateng.com/index.php/2011/06/dirjen-pajak-akan-perkuat-sistem-internal/>